Rabu, 08 Agustus 2012

karya


TNI belum tentu bersih dari korupsi

MEDAN - Hasil survei yang baru dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) lebih bersih dalam hal praktek korupsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai oleh sejumlah kalangan masyarakat aneh dan patut dipertanyakan kembali.

Apalagi beberapa kasus praktek korupsi yang juga menyeret institusi polisi, seperti rekening gendut perwira polisi, dana dari Freeport dan kasus Gayus Tambunan, yang mencitrakan bahwa Polri salah satu institusi pemerintah yang korup, tentu masih segar di ingatan masyarakat.Penasehat Indonesia Police Watch (IPW), Johnson Panjaitan, meragukan keakuratan survei yang digalang oleh LSI tersebut. Kepada Waspada Online tadi malam, Johnson dengan tegas mengatakan bahwa institusi Polri lebih buruk daripada KPK dalam hal praktek korupsi. "Polri itu lebih buruk daripada KPK," tegasnya.

Senada dengan pernyataan beberapa kalangan masyarakat lain yang juga meragukan hasil survei LSI tersebut, dirinya juga merasa heran apakah orang-orang di LSI tersebut menanyakan pertanyaan survei tersebut kepada orang yang tepat. "Karena jangan-jangan orang yang ditanya juga tidak begitu paham tentang kondisi yang terjadi di tubuh Polri saat ini," ujarnya.

Saat diberitahu lembaga pemerintah yang lain, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI), menempati peringkat tertinggi dalam hal lembaga penegak hukum yang bersih dari praktek korupsi, Johnson mengatakan karena saat ini tidak ada satu pun oknum TNI yang terlibat kasus korupsi dengan dana yang besar atau juga belum terekspos oleh media. "Jadi bukan berarti TNI bersih dari korupsi ya, karena itu juga tidak mungkin. Praktek korupsi pasti ada dimana saja, termasuk di TNI," katanya.

Dirinya juga menimpali bahwa bisa saja tidak ada orang yang berani memeriksa data keuangan yang ada di tubuh lembaga angkatan bersenjata tersebut.

Politisi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, juga menilai janggal hasil survei yang dirilis LSI mengenai persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum. Achsanul tak percaya bila Polri disebut sebagai institusi yang lebih bersih dibanding KPK. "Kenapa tiba-tiba muncul KPK kalah bersih dengan TNI dan Polri? Menurut saya aneh juga melakukan suatu survei, yang dasarnya juga kita enggak tahu apa. Apakah dasarnya proyek atau apa telah birokratif itu juga harus dilihat," kata Achsanul.

"Kalau bersih atau tidak bersihnya berdasarkan survei, nanti semua kepentingan bermain di sana. Misalnya untuk kepentingan TNI, Polri, KPK, jangan sampai nanti yang bersih dianggap enggak bersih dan yang enggak bersih dianggap bersih," katanya.

LSI melakukan survei ke sejumlah lembaga dengan pertanyaan, "Sejauh ini, menurut penilaian Ibu/bapak seberapa bersih atau tidak bersihkah lembaga-lembaga berikut dari korupsi?"

Menurut Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi, publik pada umumnya tidak percaya bahwa lembaga-lembaga yang dinilai strategis, bersih dari korupsi. "Hanya pada TNI, rakyat pada umumnya masih percaya bahwa lembaga ini bersih dari korupsi," kata Dodi.

Berikut penilaian responden terhadap lembaga-lembaga negara:
1. TNI 57,2%
2. Presiden 51%
3. Kepolisian 39,3%
4. KPK 38,5%
5. Bank Indonesia 38,2%
6. Mahkamah Konstitusi 37,7%
7. Mahkamah Agung 34,9%
8. Badan Pemeriksa Keuangan 33,8%
9. Kejaksaan Agung 33,2%
10. Dewan Perwakilan Rakyat 31,1%
11. Partai politik 30,2%

Perwira TNI AU Pengkritik SBY Terbelit Kasus Korupsi

JAKARTA- Korps TNI AU telah memberi penjelasan resmi terkait persoalan hukum yang tengah membelit Kolonel Penerbang Adjie Suradji.

Pria yang kemarin menghebohkan publik lantaran menulis opini di Kompas berisi kritik terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tersandung kasus dugaan korupsi di lingkungan TNI AU.

Status Adjie pun sudah terdakwa. “Saat ini yang bersangkutan tengah menghadapi dakwaan terkait tindak pidana korupsi dan dalam proses hukum,” ujar Kadispen TNI AU Marsma TNI Bambang Samoedro di Jakarta, Selasa (7/9/2010).

Kolonel Adjie yang bertugas dibagian koperasi Mabes TNI juga disebutkan jarang masuk kerja. Dia hanya datang waktu mengambil gaji.

Dalam penjelasan di harian Kompas hari ini terkait artikel yang berjudul Pimpinan, Keberanian, dan Perubahan, pihak TNI AU juga menegaskan bahwa tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi penulis. Bukan institusi TNI AU.

Namun karena mencantumkan identitas sebagai anggota TNI AU, maka penulis jelas telah melanggar kode etik prajurit TNI, sehingga akan mendapatkan sanksi yang akan diputuskan dalam pengadilan militer.

“TNI AU memegang teguh UU No 34 tahun 2005 tentang TNI, khususnya pasal 2 yang memuat tentang jati diri, di mana salah satu klausulnya menyatakan bahwa TNI dilarang berpolitik praktis,”

Kejagung Belum Usut Lima Kasus Korupsi di TNI


Kejaksaan Agung (Kejagung) belum tertarik mengusut lima kasus dugaan korupsi di tubuh TNI setelah kasus itu terungkap dari sebuah dokumen yang beredar di kalangan Komisi I DPR.Semuanya harus dikaji mulai penyelidikan. Tetapi, biasanya itu adalah (hasil audit) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kita belum terima laporan BPK, kata JAM Pidsus Hendarman Supandji usai mengikuti pertandingan tenis meja dengan wartawan di gedung Kejagung Jakarta kemarin.

Dua hari lalu, sejumlah anggota Komisi I DPR menerima kiriman satu berkas dokumen tentang dugaan korupsi di tubuh TNI. Dokumen itu dikirimkan orang tak dikenal, menyusul terungkapnya kasus penimbunan senjata di rumah almarhum Brigjen Koesmayadi.
Selain terkait Koesmayadi, dokumen itu memuat lima kasus korupsi lain. Yakni, dugaan korupsi pada Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BPTWP) TNI AD; dugaan korupsi pada kasus tanah Kodam V/Brawijaya yang digunakan untuk Jalan Tol Waru-Juanda; kasus pembelian fiktif pesawat Fokker F-50 oleh Pusperbad TA 2003; kasus korupsi dalam pengadaan kendaraan PJD TA 2003/2005; serta kasus korupsi di Akmil TA 2005.
Hendarman mengatakan, tim koneksitas (Kejagung-Mabes TNI) selama ini hanya menangani dua kasus korupsi di tubuh TNI. Pertama, menyangkut dugaan korupsi pada BPTWP TNI AD senilai Rp 100 miliar dan Rp 29 miliar; kedua, kasus pengadaan helikopter Mi-17 (yang melibatkan Koesmayadi).
Kasus lainnya seperti yang diterima komisi I, kami belum terima, jelas pria yang juga ketua Tim Koneksitas itu. Temuan korupsi Mi-17 didasarkan temuan BPK. Sedangkan kasus korupsi BPTWP diserahkan Puspom TNI.
Menurut dia, dua kasus itu terus didalami dengan mengintensifkan pemanggilan sejumlah saksi. Berapa jumlah saksinya, saya nggak ingat, jelas Hendarman. Yang pasti, kata dia, meninggalnya Koesmayadi tak otomatis menghilangkan perbuatan melawan hukumnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan, kejaksaan tidak bisa langsung mengambil alih penanganan kasus korupsi di tubuh TNI. Sesuai ketentuan perundang-undangan, kejaksaan harus menggandeng Mabes TNI untuk membentuk tim penyidik koneksitas. Kejaksaan menjadi koordinator ..(tim koneksitas). Itu wewenangnya

Aneh, Cepatnya Penahanan Tiga Pejabat Polri


TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Anang Iskandar meyakinkan tidak akan ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM. Sebagai bukti, polisi mempersilakan semua pihak mengontrol proses penyidikan.

Sayangnya, tak semua pihak yakin dengan itu. Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto adalah kubu yang belum bisa diyakinkan polisi dapat menuntaskan kasus tersebut.
"Saya pikir masyarakat mendukung kasus ini ditangani KPK karena KPK tidak berwenang SP3. Kasus-kasus yang diserahkan ke pengadilan tipikor itu 99 persen divonis. Beda dengan Polri, ketika proses penyidikan, peluang SP3 itu ada," katanya dalam diskusi 'Masa Sih Polisi Korupsi?' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (4/8/2012).
Agus menilai selama ini kasus yang ditangani polisi terlalu lama penuntasannya. Apalagi pemeriksaan tersangka juga cukup lama. "Belum lagi kalau seseorang ditetapkan tersangka, belum tahu kapan prosesnya selesai," paparnya.
Di samping itu, penahanan yang begitu cepat terhadap tiga pejabat Polri juga dinilai aneh. "Polisi mempercepat penyidikan dengan menahan tiga orang. Kenapa begitu cepat? Padahal belum ada bukti bahwa tersangka itu lakukan Tindak Pidana. Ini yang aneh?" kata Agus.
Dia menduga polisi ingin melokalisir agar kasus dugaan korupsi ini tidak meluas ke pihak-pihak lain yang menerima aliran ini. "Kalau mau obyetif ya serahkan saja ke KPK. Tujuannya kan sama. Berantas korupsi," kata Agus.
Di tempat yang sama, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala berpendapat sebagaiknya polisi ikhlas menyerahkan kasus tersebut ke KPK. Sederhana saja alasannya, yakni agar tak ada konflik kepentingan meningat ada sejumlah jenderal polisi yan terlibat.

Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto: KPK Perampok


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia, Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan perampokan saat menggeledah dan mengambil barang bukti kasus korupsi simulator SIM di kantor Korlantas Polri beberapa hari lalu.
Menurutnya, penggeledahan itu tak sesuai prosedur. "KPK yang melakukan penyitaan, rampok. Enggak ada tanda terima, enggak ada berita acara pemeriksaan," ujar Sisno dalam diskusi bertajuk "Masa' Sih Polisi Korupsi" di Jakarta, Sabtu (4/8/2012).
Sino tak setuju jika upaya petugas Korlantas melarang para penyidik KPK membawa dokumen saat itu disebut sebagai upaya menghalang-halangi tugas penyidikan KPK. Itu dilakukan karena tidak ada jaminan bukti yang dibawa pihak KPK seluruhnya terkait kasus simulator SIM.
Selain itu, pihak pimpinan KPK dinilai Sisno telah ingkar atas kesepakatan bersama dengan pimpinan Polri sebelumnya.

Ada Kesan Polri Sengaja Dipojokkan


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Bambang Susatyo, mengatakan bahwa saat ini citra institusi Polri sedang dipertaruhkan sebab ada kesan seolah-olah ada pihak-pihak yang sengaja memojokkan Polri.
"Akibat kesimpangsiuran informasi sepanjang Selasa lalu, saat dan sesudah penyidik KPK melakukan penggeledahan di kantor Korlantas, jelas-jelas memojokkan Polri. Sebab, sudah dimunculkan kesan bahwa Polri menghalang-halangi penggeledahan, bahkan menghambat penyidik KPK membawa barang sitaan," kata Bambang, Minggu (5/8/2012).
Politisi Golkar ini  menambahkan pihak Polri perlu dengan cepat penanganan kasus ini.
"Untuk mementahkan kesan itu, diperlukan inisiatif dan kesigapan Mabes Polri dalam berkoordinasi dengan KPK menuntaskan kasus ini. Menurut saya, sikap pro aktif Mabes Polri dalam mempercepat penanganan kasus ini akan memperbaiki citra Polri," ujarnya.
Dikatakan insiden penggeladahan di markas Korlantas Polri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak menimbulkan salah paham serta  semangat saling menjatuhkan diantara lembaga penegak hukum.
"Insiden penggeladahan di markas Korlantas Polri oleh KPK diharapkan tidak menimbulkan distrust dan semangat saling menjatuhkan,"

KPK Diduga Sengaja Jebak Polri

JAKARTA - Aksi penggeledahan tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor Korlantas Polri menimbulkan banyak pendapat. Aktivis Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menduga, lembaga pemberantasan korupsi itu sengaja menjebak Korps Bhayangkara.

"Bisa jadi penjebakan ini," kata Neta dalam pesan singkatnya kepada Okezone, Selasa (8/8/2012).

Kejadian ini, menurutnya, tak bisa dipungkiri merusak citra dan menghancurkan moralitas kepolisian. "Maklum, selama ini institusi satu-satunya yang tidak tersentuh KPK hanyalah Polri," paparnya.

Jadi, kata dia, dalam kasus ini KPK sepertinya ingin membuat terapi kejut buat Polri. Kendati demikian, dia yakin, Jenderal Timur Pradopo akan tetap bertahan.

"Yang jelas Polri akan berusaha bertahan, jika tidak ini akan jadi preseden, dan KPK akan lebih mudah masuk dan mengobok-obok Polri," pungkasnya.

Penggeledahan di kantor Korlantas Polri di Jalan MT Haryono dilakukan pada Senin pekan lalu. KPK mengobok-ngobok kantor Korlantas selama sekira 20 jam berkaitan dengan kasus dugaan korupsi anggaran simulator SIM tahun 2011.

Ketegangan sempat mewarnai aksi itu. Sejumlah aparat kepolisian menghalangi petugas KPK yang ingin membawa barang sitaan. Tiga pimpinan KPK pun terpaksa turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan menemui Kabareskrim, Komjen Pol Sutarman.

KPK kemudian menetapkan mantan Korlantas, Irjen Pol Djoko Susilo dan Wakorlantas Brigjen Didik sebagai tersangka.

Hentikan Konflik KPK Vs Polri!

JAKARTA - Konflik antara Komisik Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisisn terkait kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri terus meruncing. Indonesia Developmet Monitoring mendesak kedua lembaga menghentikan konflik.

Direktur Indonesia Developmet Monitoring, Fahmi Hafel, mengatakan, tarik menarik kewenangan dalam peyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator seharusnya tidak perlu dipersoalkan.

"Apakah itu lebih berwenang Polri atau lebih berwenang KPK yang terpenting adalah hasil dari pembongkaran kasus dugaan korupsi pengadaan simulator  tersebut," kata dia dalam siaran persnya kepada Okezone, Selasa (7/8/2012).

Menurut dia, menentukan seberapa banyak uang negara yang bisa diselamatkan dalam kasus ini dan seberat apa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi lebih penting dari pada sekedar berdebat.

"Jadi KPK tidak perlu ngotot untuk mengatakan paling berhak dalam melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut ,sebab kinerja KPK dalam pemberantsan korupsi dibandingkan dengan dana APBN yang terpakai untuk pembiayaan KPK tidak sebanding dengan uang hasil korupsi yang dapat diselamtkan oleh KPK," ujarnya.

Menurut dia, KPK juga tidak terlalu banyak membongkar kasus kasus korupsi big fish yang ada di BUMN yang kerugiannya mencapai triliunan. KPK juga tidak berani menjadikan beberapa elit partai politik sebagai tersangka berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pembangunan komplek olahraga Hambalang, Bogor.

"Terkait dengan kasus dugaan korupsi di Korlantas, KPK tidak perlu menghalang-halangi Polri untuk melakukan peyidikan dalam kasus tersebut sebab dasar hukum Polri untuk meyidik kasus tersebut juga ada yaitu KUHAP," ungkapnya.

Dia menilai, KPK berhak mengambil alih kasus ini jika penyidikan di kepolisian jalan di tempat. Jika begitu, kasus ini juga bisa saja jadi bumerang bagi kepolisian.

Kewenangan Polri Lebih Tinggi daripada KPK


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyebutkan bahwa kewenangan Polri lebih tinggi daripada KPK. Alasannya, keberadaan institusi Polri diatur dalam konstitusi. Keberadaan KPK dengan segala kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi, tetapi hanya diatur dalam undang-undang.
Hal itu disampaikan Yusril seusai bertemu dengan jajaran Divisi Hukum Polri di Jakarta, Senin (6/8/2012). "Saya dimintai pendapat, bagaimana jika masalah ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi," kata Yusril.
Menurut Yusril, permohonan ke MK terkait sengketa kewenangan KPK dengan Polri akan menarik. Kewenangan Polri sebagai institusi negara diatur dalam konstitusi. Di sisi lain, kewenangan KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi tidak diatur dalam konstitusi.

Kabareskrim: KPK Tak Mungkin Ambil Alih Kewenangan Kasus Korlantas


JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan bahwa KPK tak mungkin mengambil alih kewenangan kasus dugaan korupsi simulator SIM. Hal itu mencermati isi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK punya kewenangan untuk mengambil alih yang tertuang dalam Pasal 8. Tetapi, Pasal 8 ini syaratnya kan Pasal 9, sepanjang kasus tidak ditangani, ditelantarkan, dan sebagainya. Tapi, ini kita cepat tangani. Mungkin enggak diambil? Enggak mungkin," ujar Sutarman yang ditemui seusai shalat tarawih di Masjid Al-Ikhlas Mabes Polri, Jakarta, Selasa (7/8/2012) malam.
Menurut Sutarman, Pasal 9 menyebutkan, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
  • a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
  • b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
  • d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
  • e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif;
  • f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Sutarman, hal tersebut telah dipenuhi Polri sehingga KPK pun tak dapat mengambil alih. Ia pun mengembalikannya pada Undang-Undang Dasar Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ia bersikeras tetap melanjutkan penyidikan karena tak ada satu pasal pun dalam KUHP yang menyatakan Polri harus menghentikan penyidikan.
Dikatakan Sutarman, yang diperdebatkan saat itu hanyalah Undang-Undang KPK dalam Pasal 50 ayat 4 yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."
Sutarman pun menegaskan tak dapat menghentikan penyidikan karena telah menahan para tersangkanya pada Jumat (3/8/2012). "Itu yang diperdebatkan Pasal 50 ayat 4, tapi di mana saya harus menghentikan? Kalau saya sudah menahan orang, bagaimana menghentikannya? Tidak ada satu pasal pun. Pasal 109, kalau tidak cukup bukti dan sebagainya, KUHAP. Tapi ini buktinya cukup, dari mana saya bisa menghentikan? Tidak bisa," tandasnya.
Sutarman mengingatkan bahwa para pimpinan, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad, telah sepakat pada pertemuan Selasa (31/7/2012) di Mabes Polri. Penyidikan yang dilanjutkan Polri pun atas dasar kesepakatan saat itu.
"Yang ditangani polisi DP (Didik Purnomo), pejabat pembuat komitmen sampai dengan ke bawah. Itu sesuai dengan komitmen pertemuan Pak Kapolri tanggal 31 Juli. Kesepakatan pimpinan itu adalah perjanjian moral, yang itu lebih tinggi dari segalanya," terang Sutarman.
Sutarman menuturkan, jika tidak juga ada kesepakatan atau tidak ada titik temu, ia siap menyelesaikan di peradilan. Namun, Sutarman belum memastikan apakah kasus tersebut akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. "Kalau memang itu dianggap tidak sepakat, ya selesaikan di peradilan," kata dia

KORUPSI KORLANTAS: KPK Dituding Obok-Obok ‘Rumah Kapolri’ Tanpa Izin, Komentar Anda?


  JAKARTA: Mabes Polri tidak ikhlas dengan langkah KPK menerobos garis koordinasi yang telah disepakati bersama antara institusi penegak hukum. Bahkan lembaga antisuap itu dituding telah mengobok-obok ‘rumah Kapolri’ tanpa izin.
 
Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman mengatakan semula ada koordinasi bersama antara Polri dengan KPK terkait dengan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator untuk pengemudi kendaraan.
 
Namun, ungkapnya, saat koordinasi masih berjalan, KPK sudah menabrak aturan main yang dibuat bersama, sehingga polisi berkeras untuk tetap melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
 
“Masuk rumahnya orang, Kapolri tidak diberitahukan. Ketua KPK Abraham Samad, waktu ketemu tidak menyampaikan rencana penggeledahan. Etika ditabrak, MoU ditabrak,” ujarnya dalam konferensi pers, siang ini.
 
Dia menceritakan pada Senin 30 Juli 2012 pukul 14.00 WIB Ketua KPK dan jajarannya menghadap Kapolri. Pada kesempatan itu, Abraham menyampaikan bahwa KPK akan melakukan penyidikan terhadap dugaan penyimpangan pengadaan simulator SIM di Korlantas.
 
Namun, sambungnya, Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan rencana itu karena Bareskrim juga sudah melakukan penyelidikan dan akan melakukan presentasi di hadapan pimpinan KPK.
 
Pada 31 Juli ada rencana untuk melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK dan disepakati untuk bertemu pada pukul 10.00 WIB. Namun, ungkapnya, kenyataannya pada hari yang sama pukul 16.00 WIB penyidik KPK melakukan penggeledahan Korlantas.
 
Padahal, lanjutnya, sesuai dengan pertemuan Kapoldi dan ketua KPK perlu menunggu satu atau dua hari untuk presentasi hasil penyelidikan Bareskrim. “Waktu ketemu tidak disampaikan sama sekali mengenai penggeledahan,” tuturnya.
 
KPK melakukan penggeledahan Gedung Korlantas Polri pada 31 Juli terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator uji mengemudi. Penyidik KPK sempat ditahan dan dihalang-halangi dalam pengeledahan itu.
 
Namun, Sutarman membantah telah menghalang-halangi. “Tidak ada menghalang-halangi. Justru setelah berkoordinasi terus dilakukan penggeledahan,” ujarnya.

KASUS SIMULATOR SIM: Tak Ada Kesepakatan Polri-KPK

JAKARTA: Kasus Simulator SIM yang menjadi rebutan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum juga usai. Sempat tersiar kabar bahwa akan ada pembagian perkara, namun Ketua KPK, Abraham Samad membantah hal tersebut.

"Yang saya sampaikan waktu itu, option (pilihan) bukan decision (keputusan)," ujar Abraham di Jakarta, Selasa (7/8)malam.

Pernyataan Abraham tersebut menanggapi tudingan terhadap pernyataannya pada Selasa pekan lalu yang dipersoalkan oleh beberapa pihak. Salah satu pihak yang mempersoalkannya ialah Karopenmas Mabes Polri,  Brigjen Boy Rafli Amar yang mengatakan Abraham sudah menyatakan adanya kesepakatan antara Polri dengan KPK, terutama pada pembagian kasus itu di acara acara Indonesia Lawyers Club kemarin malam.

Saat ini, tambah Abraham, KPK masih mengkaji pilihan yang ada serta berkoordinas dengan Mabes Polri. Sedangkan tersangka KPK tidak ada yang berubah tetap seperti awal.

Selain itu Abraham juga mengungkapkan bahwa hasil pertemuan dengan Kapolri Senin (6/8) malam kemarin tidak ada keputusan yang signifikan. Dalam pertemuan tersebut hanya menyepakati bahwa kedua belah pihak akan cooling down. Keduanya sepakat tidak akan memberikan pernyataan mengenai substansi perkara di media dalam waktu tertentu.

"Kesepakatannya kita cooling down aja dulu," pungkas Abraham.

Seperti diketahui bahwa dalam kasus ini, Mabes Polri telah menetapkan lima tersangka. Namun nama Irjen Djoko Susilo tidak masuk dalam daftar tersangka. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menetapkan Djoko sebagai tersangka.

Dalam proyek senilai Rp196,8 miliar itu ditemukan kerugian negara sekitar Rp 100 miliar. KPK menduga kerugian negara itu disebabkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Irjen Pol, Djoko Susilo selaku Kakorlantas Polri pada tahun 2011.