Rabu, 08 Agustus 2012

karya


TNI belum tentu bersih dari korupsi

MEDAN - Hasil survei yang baru dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) lebih bersih dalam hal praktek korupsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai oleh sejumlah kalangan masyarakat aneh dan patut dipertanyakan kembali.

Apalagi beberapa kasus praktek korupsi yang juga menyeret institusi polisi, seperti rekening gendut perwira polisi, dana dari Freeport dan kasus Gayus Tambunan, yang mencitrakan bahwa Polri salah satu institusi pemerintah yang korup, tentu masih segar di ingatan masyarakat.Penasehat Indonesia Police Watch (IPW), Johnson Panjaitan, meragukan keakuratan survei yang digalang oleh LSI tersebut. Kepada Waspada Online tadi malam, Johnson dengan tegas mengatakan bahwa institusi Polri lebih buruk daripada KPK dalam hal praktek korupsi. "Polri itu lebih buruk daripada KPK," tegasnya.

Senada dengan pernyataan beberapa kalangan masyarakat lain yang juga meragukan hasil survei LSI tersebut, dirinya juga merasa heran apakah orang-orang di LSI tersebut menanyakan pertanyaan survei tersebut kepada orang yang tepat. "Karena jangan-jangan orang yang ditanya juga tidak begitu paham tentang kondisi yang terjadi di tubuh Polri saat ini," ujarnya.

Saat diberitahu lembaga pemerintah yang lain, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI), menempati peringkat tertinggi dalam hal lembaga penegak hukum yang bersih dari praktek korupsi, Johnson mengatakan karena saat ini tidak ada satu pun oknum TNI yang terlibat kasus korupsi dengan dana yang besar atau juga belum terekspos oleh media. "Jadi bukan berarti TNI bersih dari korupsi ya, karena itu juga tidak mungkin. Praktek korupsi pasti ada dimana saja, termasuk di TNI," katanya.

Dirinya juga menimpali bahwa bisa saja tidak ada orang yang berani memeriksa data keuangan yang ada di tubuh lembaga angkatan bersenjata tersebut.

Politisi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, juga menilai janggal hasil survei yang dirilis LSI mengenai persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum. Achsanul tak percaya bila Polri disebut sebagai institusi yang lebih bersih dibanding KPK. "Kenapa tiba-tiba muncul KPK kalah bersih dengan TNI dan Polri? Menurut saya aneh juga melakukan suatu survei, yang dasarnya juga kita enggak tahu apa. Apakah dasarnya proyek atau apa telah birokratif itu juga harus dilihat," kata Achsanul.

"Kalau bersih atau tidak bersihnya berdasarkan survei, nanti semua kepentingan bermain di sana. Misalnya untuk kepentingan TNI, Polri, KPK, jangan sampai nanti yang bersih dianggap enggak bersih dan yang enggak bersih dianggap bersih," katanya.

LSI melakukan survei ke sejumlah lembaga dengan pertanyaan, "Sejauh ini, menurut penilaian Ibu/bapak seberapa bersih atau tidak bersihkah lembaga-lembaga berikut dari korupsi?"

Menurut Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi, publik pada umumnya tidak percaya bahwa lembaga-lembaga yang dinilai strategis, bersih dari korupsi. "Hanya pada TNI, rakyat pada umumnya masih percaya bahwa lembaga ini bersih dari korupsi," kata Dodi.

Berikut penilaian responden terhadap lembaga-lembaga negara:
1. TNI 57,2%
2. Presiden 51%
3. Kepolisian 39,3%
4. KPK 38,5%
5. Bank Indonesia 38,2%
6. Mahkamah Konstitusi 37,7%
7. Mahkamah Agung 34,9%
8. Badan Pemeriksa Keuangan 33,8%
9. Kejaksaan Agung 33,2%
10. Dewan Perwakilan Rakyat 31,1%
11. Partai politik 30,2%

Perwira TNI AU Pengkritik SBY Terbelit Kasus Korupsi

JAKARTA- Korps TNI AU telah memberi penjelasan resmi terkait persoalan hukum yang tengah membelit Kolonel Penerbang Adjie Suradji.

Pria yang kemarin menghebohkan publik lantaran menulis opini di Kompas berisi kritik terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tersandung kasus dugaan korupsi di lingkungan TNI AU.

Status Adjie pun sudah terdakwa. “Saat ini yang bersangkutan tengah menghadapi dakwaan terkait tindak pidana korupsi dan dalam proses hukum,” ujar Kadispen TNI AU Marsma TNI Bambang Samoedro di Jakarta, Selasa (7/9/2010).

Kolonel Adjie yang bertugas dibagian koperasi Mabes TNI juga disebutkan jarang masuk kerja. Dia hanya datang waktu mengambil gaji.

Dalam penjelasan di harian Kompas hari ini terkait artikel yang berjudul Pimpinan, Keberanian, dan Perubahan, pihak TNI AU juga menegaskan bahwa tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi penulis. Bukan institusi TNI AU.

Namun karena mencantumkan identitas sebagai anggota TNI AU, maka penulis jelas telah melanggar kode etik prajurit TNI, sehingga akan mendapatkan sanksi yang akan diputuskan dalam pengadilan militer.

“TNI AU memegang teguh UU No 34 tahun 2005 tentang TNI, khususnya pasal 2 yang memuat tentang jati diri, di mana salah satu klausulnya menyatakan bahwa TNI dilarang berpolitik praktis,”

Kejagung Belum Usut Lima Kasus Korupsi di TNI


Kejaksaan Agung (Kejagung) belum tertarik mengusut lima kasus dugaan korupsi di tubuh TNI setelah kasus itu terungkap dari sebuah dokumen yang beredar di kalangan Komisi I DPR.Semuanya harus dikaji mulai penyelidikan. Tetapi, biasanya itu adalah (hasil audit) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kita belum terima laporan BPK, kata JAM Pidsus Hendarman Supandji usai mengikuti pertandingan tenis meja dengan wartawan di gedung Kejagung Jakarta kemarin.

Dua hari lalu, sejumlah anggota Komisi I DPR menerima kiriman satu berkas dokumen tentang dugaan korupsi di tubuh TNI. Dokumen itu dikirimkan orang tak dikenal, menyusul terungkapnya kasus penimbunan senjata di rumah almarhum Brigjen Koesmayadi.
Selain terkait Koesmayadi, dokumen itu memuat lima kasus korupsi lain. Yakni, dugaan korupsi pada Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BPTWP) TNI AD; dugaan korupsi pada kasus tanah Kodam V/Brawijaya yang digunakan untuk Jalan Tol Waru-Juanda; kasus pembelian fiktif pesawat Fokker F-50 oleh Pusperbad TA 2003; kasus korupsi dalam pengadaan kendaraan PJD TA 2003/2005; serta kasus korupsi di Akmil TA 2005.
Hendarman mengatakan, tim koneksitas (Kejagung-Mabes TNI) selama ini hanya menangani dua kasus korupsi di tubuh TNI. Pertama, menyangkut dugaan korupsi pada BPTWP TNI AD senilai Rp 100 miliar dan Rp 29 miliar; kedua, kasus pengadaan helikopter Mi-17 (yang melibatkan Koesmayadi).
Kasus lainnya seperti yang diterima komisi I, kami belum terima, jelas pria yang juga ketua Tim Koneksitas itu. Temuan korupsi Mi-17 didasarkan temuan BPK. Sedangkan kasus korupsi BPTWP diserahkan Puspom TNI.
Menurut dia, dua kasus itu terus didalami dengan mengintensifkan pemanggilan sejumlah saksi. Berapa jumlah saksinya, saya nggak ingat, jelas Hendarman. Yang pasti, kata dia, meninggalnya Koesmayadi tak otomatis menghilangkan perbuatan melawan hukumnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan, kejaksaan tidak bisa langsung mengambil alih penanganan kasus korupsi di tubuh TNI. Sesuai ketentuan perundang-undangan, kejaksaan harus menggandeng Mabes TNI untuk membentuk tim penyidik koneksitas. Kejaksaan menjadi koordinator ..(tim koneksitas). Itu wewenangnya

Aneh, Cepatnya Penahanan Tiga Pejabat Polri


TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Anang Iskandar meyakinkan tidak akan ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM. Sebagai bukti, polisi mempersilakan semua pihak mengontrol proses penyidikan.

Sayangnya, tak semua pihak yakin dengan itu. Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto adalah kubu yang belum bisa diyakinkan polisi dapat menuntaskan kasus tersebut.
"Saya pikir masyarakat mendukung kasus ini ditangani KPK karena KPK tidak berwenang SP3. Kasus-kasus yang diserahkan ke pengadilan tipikor itu 99 persen divonis. Beda dengan Polri, ketika proses penyidikan, peluang SP3 itu ada," katanya dalam diskusi 'Masa Sih Polisi Korupsi?' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (4/8/2012).
Agus menilai selama ini kasus yang ditangani polisi terlalu lama penuntasannya. Apalagi pemeriksaan tersangka juga cukup lama. "Belum lagi kalau seseorang ditetapkan tersangka, belum tahu kapan prosesnya selesai," paparnya.
Di samping itu, penahanan yang begitu cepat terhadap tiga pejabat Polri juga dinilai aneh. "Polisi mempercepat penyidikan dengan menahan tiga orang. Kenapa begitu cepat? Padahal belum ada bukti bahwa tersangka itu lakukan Tindak Pidana. Ini yang aneh?" kata Agus.
Dia menduga polisi ingin melokalisir agar kasus dugaan korupsi ini tidak meluas ke pihak-pihak lain yang menerima aliran ini. "Kalau mau obyetif ya serahkan saja ke KPK. Tujuannya kan sama. Berantas korupsi," kata Agus.
Di tempat yang sama, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala berpendapat sebagaiknya polisi ikhlas menyerahkan kasus tersebut ke KPK. Sederhana saja alasannya, yakni agar tak ada konflik kepentingan meningat ada sejumlah jenderal polisi yan terlibat.

Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto: KPK Perampok


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia, Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan perampokan saat menggeledah dan mengambil barang bukti kasus korupsi simulator SIM di kantor Korlantas Polri beberapa hari lalu.
Menurutnya, penggeledahan itu tak sesuai prosedur. "KPK yang melakukan penyitaan, rampok. Enggak ada tanda terima, enggak ada berita acara pemeriksaan," ujar Sisno dalam diskusi bertajuk "Masa' Sih Polisi Korupsi" di Jakarta, Sabtu (4/8/2012).
Sino tak setuju jika upaya petugas Korlantas melarang para penyidik KPK membawa dokumen saat itu disebut sebagai upaya menghalang-halangi tugas penyidikan KPK. Itu dilakukan karena tidak ada jaminan bukti yang dibawa pihak KPK seluruhnya terkait kasus simulator SIM.
Selain itu, pihak pimpinan KPK dinilai Sisno telah ingkar atas kesepakatan bersama dengan pimpinan Polri sebelumnya.

Ada Kesan Polri Sengaja Dipojokkan


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Bambang Susatyo, mengatakan bahwa saat ini citra institusi Polri sedang dipertaruhkan sebab ada kesan seolah-olah ada pihak-pihak yang sengaja memojokkan Polri.
"Akibat kesimpangsiuran informasi sepanjang Selasa lalu, saat dan sesudah penyidik KPK melakukan penggeledahan di kantor Korlantas, jelas-jelas memojokkan Polri. Sebab, sudah dimunculkan kesan bahwa Polri menghalang-halangi penggeledahan, bahkan menghambat penyidik KPK membawa barang sitaan," kata Bambang, Minggu (5/8/2012).
Politisi Golkar ini  menambahkan pihak Polri perlu dengan cepat penanganan kasus ini.
"Untuk mementahkan kesan itu, diperlukan inisiatif dan kesigapan Mabes Polri dalam berkoordinasi dengan KPK menuntaskan kasus ini. Menurut saya, sikap pro aktif Mabes Polri dalam mempercepat penanganan kasus ini akan memperbaiki citra Polri," ujarnya.
Dikatakan insiden penggeladahan di markas Korlantas Polri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak menimbulkan salah paham serta  semangat saling menjatuhkan diantara lembaga penegak hukum.
"Insiden penggeladahan di markas Korlantas Polri oleh KPK diharapkan tidak menimbulkan distrust dan semangat saling menjatuhkan,"

KPK Diduga Sengaja Jebak Polri

JAKARTA - Aksi penggeledahan tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor Korlantas Polri menimbulkan banyak pendapat. Aktivis Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, menduga, lembaga pemberantasan korupsi itu sengaja menjebak Korps Bhayangkara.

"Bisa jadi penjebakan ini," kata Neta dalam pesan singkatnya kepada Okezone, Selasa (8/8/2012).

Kejadian ini, menurutnya, tak bisa dipungkiri merusak citra dan menghancurkan moralitas kepolisian. "Maklum, selama ini institusi satu-satunya yang tidak tersentuh KPK hanyalah Polri," paparnya.

Jadi, kata dia, dalam kasus ini KPK sepertinya ingin membuat terapi kejut buat Polri. Kendati demikian, dia yakin, Jenderal Timur Pradopo akan tetap bertahan.

"Yang jelas Polri akan berusaha bertahan, jika tidak ini akan jadi preseden, dan KPK akan lebih mudah masuk dan mengobok-obok Polri," pungkasnya.

Penggeledahan di kantor Korlantas Polri di Jalan MT Haryono dilakukan pada Senin pekan lalu. KPK mengobok-ngobok kantor Korlantas selama sekira 20 jam berkaitan dengan kasus dugaan korupsi anggaran simulator SIM tahun 2011.

Ketegangan sempat mewarnai aksi itu. Sejumlah aparat kepolisian menghalangi petugas KPK yang ingin membawa barang sitaan. Tiga pimpinan KPK pun terpaksa turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan menemui Kabareskrim, Komjen Pol Sutarman.

KPK kemudian menetapkan mantan Korlantas, Irjen Pol Djoko Susilo dan Wakorlantas Brigjen Didik sebagai tersangka.

Hentikan Konflik KPK Vs Polri!

JAKARTA - Konflik antara Komisik Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisisn terkait kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri terus meruncing. Indonesia Developmet Monitoring mendesak kedua lembaga menghentikan konflik.

Direktur Indonesia Developmet Monitoring, Fahmi Hafel, mengatakan, tarik menarik kewenangan dalam peyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator seharusnya tidak perlu dipersoalkan.

"Apakah itu lebih berwenang Polri atau lebih berwenang KPK yang terpenting adalah hasil dari pembongkaran kasus dugaan korupsi pengadaan simulator  tersebut," kata dia dalam siaran persnya kepada Okezone, Selasa (7/8/2012).

Menurut dia, menentukan seberapa banyak uang negara yang bisa diselamatkan dalam kasus ini dan seberat apa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku korupsi lebih penting dari pada sekedar berdebat.

"Jadi KPK tidak perlu ngotot untuk mengatakan paling berhak dalam melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut ,sebab kinerja KPK dalam pemberantsan korupsi dibandingkan dengan dana APBN yang terpakai untuk pembiayaan KPK tidak sebanding dengan uang hasil korupsi yang dapat diselamtkan oleh KPK," ujarnya.

Menurut dia, KPK juga tidak terlalu banyak membongkar kasus kasus korupsi big fish yang ada di BUMN yang kerugiannya mencapai triliunan. KPK juga tidak berani menjadikan beberapa elit partai politik sebagai tersangka berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pembangunan komplek olahraga Hambalang, Bogor.

"Terkait dengan kasus dugaan korupsi di Korlantas, KPK tidak perlu menghalang-halangi Polri untuk melakukan peyidikan dalam kasus tersebut sebab dasar hukum Polri untuk meyidik kasus tersebut juga ada yaitu KUHAP," ungkapnya.

Dia menilai, KPK berhak mengambil alih kasus ini jika penyidikan di kepolisian jalan di tempat. Jika begitu, kasus ini juga bisa saja jadi bumerang bagi kepolisian.

Kewenangan Polri Lebih Tinggi daripada KPK


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyebutkan bahwa kewenangan Polri lebih tinggi daripada KPK. Alasannya, keberadaan institusi Polri diatur dalam konstitusi. Keberadaan KPK dengan segala kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi, tetapi hanya diatur dalam undang-undang.
Hal itu disampaikan Yusril seusai bertemu dengan jajaran Divisi Hukum Polri di Jakarta, Senin (6/8/2012). "Saya dimintai pendapat, bagaimana jika masalah ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi," kata Yusril.
Menurut Yusril, permohonan ke MK terkait sengketa kewenangan KPK dengan Polri akan menarik. Kewenangan Polri sebagai institusi negara diatur dalam konstitusi. Di sisi lain, kewenangan KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi tidak diatur dalam konstitusi.

Kabareskrim: KPK Tak Mungkin Ambil Alih Kewenangan Kasus Korlantas


JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan bahwa KPK tak mungkin mengambil alih kewenangan kasus dugaan korupsi simulator SIM. Hal itu mencermati isi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK punya kewenangan untuk mengambil alih yang tertuang dalam Pasal 8. Tetapi, Pasal 8 ini syaratnya kan Pasal 9, sepanjang kasus tidak ditangani, ditelantarkan, dan sebagainya. Tapi, ini kita cepat tangani. Mungkin enggak diambil? Enggak mungkin," ujar Sutarman yang ditemui seusai shalat tarawih di Masjid Al-Ikhlas Mabes Polri, Jakarta, Selasa (7/8/2012) malam.
Menurut Sutarman, Pasal 9 menyebutkan, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
  • a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
  • b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
  • d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
  • e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif;
  • f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Sutarman, hal tersebut telah dipenuhi Polri sehingga KPK pun tak dapat mengambil alih. Ia pun mengembalikannya pada Undang-Undang Dasar Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ia bersikeras tetap melanjutkan penyidikan karena tak ada satu pasal pun dalam KUHP yang menyatakan Polri harus menghentikan penyidikan.
Dikatakan Sutarman, yang diperdebatkan saat itu hanyalah Undang-Undang KPK dalam Pasal 50 ayat 4 yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."
Sutarman pun menegaskan tak dapat menghentikan penyidikan karena telah menahan para tersangkanya pada Jumat (3/8/2012). "Itu yang diperdebatkan Pasal 50 ayat 4, tapi di mana saya harus menghentikan? Kalau saya sudah menahan orang, bagaimana menghentikannya? Tidak ada satu pasal pun. Pasal 109, kalau tidak cukup bukti dan sebagainya, KUHAP. Tapi ini buktinya cukup, dari mana saya bisa menghentikan? Tidak bisa," tandasnya.
Sutarman mengingatkan bahwa para pimpinan, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad, telah sepakat pada pertemuan Selasa (31/7/2012) di Mabes Polri. Penyidikan yang dilanjutkan Polri pun atas dasar kesepakatan saat itu.
"Yang ditangani polisi DP (Didik Purnomo), pejabat pembuat komitmen sampai dengan ke bawah. Itu sesuai dengan komitmen pertemuan Pak Kapolri tanggal 31 Juli. Kesepakatan pimpinan itu adalah perjanjian moral, yang itu lebih tinggi dari segalanya," terang Sutarman.
Sutarman menuturkan, jika tidak juga ada kesepakatan atau tidak ada titik temu, ia siap menyelesaikan di peradilan. Namun, Sutarman belum memastikan apakah kasus tersebut akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. "Kalau memang itu dianggap tidak sepakat, ya selesaikan di peradilan," kata dia

KORUPSI KORLANTAS: KPK Dituding Obok-Obok ‘Rumah Kapolri’ Tanpa Izin, Komentar Anda?


  JAKARTA: Mabes Polri tidak ikhlas dengan langkah KPK menerobos garis koordinasi yang telah disepakati bersama antara institusi penegak hukum. Bahkan lembaga antisuap itu dituding telah mengobok-obok ‘rumah Kapolri’ tanpa izin.
 
Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman mengatakan semula ada koordinasi bersama antara Polri dengan KPK terkait dengan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator untuk pengemudi kendaraan.
 
Namun, ungkapnya, saat koordinasi masih berjalan, KPK sudah menabrak aturan main yang dibuat bersama, sehingga polisi berkeras untuk tetap melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
 
“Masuk rumahnya orang, Kapolri tidak diberitahukan. Ketua KPK Abraham Samad, waktu ketemu tidak menyampaikan rencana penggeledahan. Etika ditabrak, MoU ditabrak,” ujarnya dalam konferensi pers, siang ini.
 
Dia menceritakan pada Senin 30 Juli 2012 pukul 14.00 WIB Ketua KPK dan jajarannya menghadap Kapolri. Pada kesempatan itu, Abraham menyampaikan bahwa KPK akan melakukan penyidikan terhadap dugaan penyimpangan pengadaan simulator SIM di Korlantas.
 
Namun, sambungnya, Kapolri meminta waktu satu atau dua hari untuk mendiskusikan rencana itu karena Bareskrim juga sudah melakukan penyelidikan dan akan melakukan presentasi di hadapan pimpinan KPK.
 
Pada 31 Juli ada rencana untuk melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK dan disepakati untuk bertemu pada pukul 10.00 WIB. Namun, ungkapnya, kenyataannya pada hari yang sama pukul 16.00 WIB penyidik KPK melakukan penggeledahan Korlantas.
 
Padahal, lanjutnya, sesuai dengan pertemuan Kapoldi dan ketua KPK perlu menunggu satu atau dua hari untuk presentasi hasil penyelidikan Bareskrim. “Waktu ketemu tidak disampaikan sama sekali mengenai penggeledahan,” tuturnya.
 
KPK melakukan penggeledahan Gedung Korlantas Polri pada 31 Juli terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator uji mengemudi. Penyidik KPK sempat ditahan dan dihalang-halangi dalam pengeledahan itu.
 
Namun, Sutarman membantah telah menghalang-halangi. “Tidak ada menghalang-halangi. Justru setelah berkoordinasi terus dilakukan penggeledahan,” ujarnya.

KASUS SIMULATOR SIM: Tak Ada Kesepakatan Polri-KPK

JAKARTA: Kasus Simulator SIM yang menjadi rebutan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum juga usai. Sempat tersiar kabar bahwa akan ada pembagian perkara, namun Ketua KPK, Abraham Samad membantah hal tersebut.

"Yang saya sampaikan waktu itu, option (pilihan) bukan decision (keputusan)," ujar Abraham di Jakarta, Selasa (7/8)malam.

Pernyataan Abraham tersebut menanggapi tudingan terhadap pernyataannya pada Selasa pekan lalu yang dipersoalkan oleh beberapa pihak. Salah satu pihak yang mempersoalkannya ialah Karopenmas Mabes Polri,  Brigjen Boy Rafli Amar yang mengatakan Abraham sudah menyatakan adanya kesepakatan antara Polri dengan KPK, terutama pada pembagian kasus itu di acara acara Indonesia Lawyers Club kemarin malam.

Saat ini, tambah Abraham, KPK masih mengkaji pilihan yang ada serta berkoordinas dengan Mabes Polri. Sedangkan tersangka KPK tidak ada yang berubah tetap seperti awal.

Selain itu Abraham juga mengungkapkan bahwa hasil pertemuan dengan Kapolri Senin (6/8) malam kemarin tidak ada keputusan yang signifikan. Dalam pertemuan tersebut hanya menyepakati bahwa kedua belah pihak akan cooling down. Keduanya sepakat tidak akan memberikan pernyataan mengenai substansi perkara di media dalam waktu tertentu.

"Kesepakatannya kita cooling down aja dulu," pungkas Abraham.

Seperti diketahui bahwa dalam kasus ini, Mabes Polri telah menetapkan lima tersangka. Namun nama Irjen Djoko Susilo tidak masuk dalam daftar tersangka. Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menetapkan Djoko sebagai tersangka.

Dalam proyek senilai Rp196,8 miliar itu ditemukan kerugian negara sekitar Rp 100 miliar. KPK menduga kerugian negara itu disebabkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Irjen Pol, Djoko Susilo selaku Kakorlantas Polri pada tahun 2011.

Senin, 09 April 2012

Megawati : Indonesia tidak pernah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan !

Megawati dalam pidato kenegaraan di depan sidang MPR tanggal 15 Agustus 2003 mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan,"karena kita memang tidak pernah memilikinya. P.Sipadan dan Ligitan secara hukum memang bukan dan belum pernah menjadi bagian dari wilayah nasional kita," ujarnya.
Pernyataan Megawati tsb didasarkan fakta kedua pulau tidak pernah masuk sebagai bagian dari wilayah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Baik deklarasi Juanda (1957), UU tentang Wawasan Nusantara (1960), maupun UU tentang Perairan Nusantara (1996) kedua pulau tidak pernah atau secara tegas pernah masuk peta wilayah Indonesia.
"Lepasnya" pulau Sipidan Ligitan merupakan rangkaian cerita panjang yang dimulai sejak abad ke 19. Ketika keputusan ICJ dikeluarkan tanggal 17 Des 2002, konflik telah berjalan selama 33 tahun dan Megawati baru setahun menjadi Presiden.

Berikut adalah riwayat sengketa Sipadan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia :
- 1891 : Konvensi pembagian wilayah Belanda dan Inggris. Kepemilikan kedua pulau tidak diatur.
- 1917 : Inggris mengeluarkan Ordonansi perlindungan satwa burung di kedua pulau
- 1930 : Inggris menerapkan pajak bagi pengumpul telur penyu di kedua pulau
- 1960 : Malaysia melakukan operasi Mercusuar di kedua pulau
- 1957 : Deklarasi Juanda dikeluarkan Pemr Indonesia. Kedua pulau tidak termasuk dalam peta Indonesia
- 1960 : Indonesia mengeluarkan UU tantang Wawasan Nusantara. Kedua pulau tidak termasuk dalam peta Indonesia
- 1969 : Indonesia-Malaysia mengadakan perundingan batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Sulawesi. Episode sengketa kedua pulau antara Indonesia dan Malaysia dimulai ! Kedua Negara sama-sama mengklaim Sipadan Ligitan sebagai bagian wilayahnya meskipun tidak masuk dalam peta wilayah masing-masing Negara. Kedua Negara sepakat “status quo” atas kedua pulau tsb.
- 1979 : Malaysia memasukkan kedua pulau dalam peta wilayahnya
- 1980 : Malaysia mulai menggelar kegiatan pariwisata di kedua pulau
- 1982 : Indonesia menandatangani / meratifikasi UNCLOS yang mulai berlaku tahun 1994 secara internasional
- 1996 : Indonesia menerbitkan UU tentang Perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS. Secara tersamar Sipada Ligitan diklaim menjadi wilayah Indonesia.
- 1997 : Indonesia-Malaysia sepakat memasukkan sengketa SIpadan Ligitan ke Internasional Court of Justice (Mahkamah Internasional). Dalam hal ini kedua Negara juga sepakat putusan ICJ nantinya bersifat mengikat (final and binding)
- 2002 : Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang ditandatangani Megawati, yang diantaranya memasukkan secara tegas Sipadan Ligitan ke dalam wilayah Indonesia. Ini dianggap upaya terakhir Indonesia melegislasi Sipadan dan Ligitan sebagai wilayahnya, meskipun terlambat.
- 2002 : Tanggal 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan putusan yang mengukuhkan Malaysia sebagai pemilik kedua pulau yang sah. Dasar putusan adalah asas effectifee dimana Pemr Inggris dianggap telah melakukan tindakan administrative atas kedua pulau dengan adanya Ordonansi perlindungan satwa burung (1917) dan ordonansi pajak atas telur penyu (1930). Dari 17 hakim ICJ, hanya 1 yang memenangkan Indonesia.
- 2003 : Megawati menyampaikan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan Sipadan Ligitan karena memang tidak pernah memilikinya.

bener apa enggak ya??

LEPASNYA P. SIPADAN DAN P. LIGITAN

Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia.Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal perkiraan para pemerhati atas putusan ICJ “fifty-fifty”, karena dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Dari penjelasan yang di “release” mass media, ternyata ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua Pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Sia-sialah perjuangan Indonesia selama belasan tahun kita memperjuangkan kedua pulau tersebut kedalam wilayah Yurisdiksi kedaulatan NKRI, ini akibat dari kekurang-seriusan kita dalam memperjuangkannya, itulah komentar-komentar yang muncul. Benarkah birokrat kita kurang serius memperjuangkan pemilikan dua pulau tersebut ?
Dari rangkaian panjang upaya yang dilakukan rasanya perjuangan kita cukup serius. Putusan MI sudah final dan bersifat mengikat sehingga tidak ada peluang lagi bagi Indonesia untuk mengubah putusan tersebut. Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk ketiga kalinya.

Sekilas mengenai proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan.

Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia – Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”.Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Spesial Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “ Written pleading “ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3 –12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp. 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
KONDISI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA
  • Penegasan Batas.
Indonesia berbatasan di darat dengan Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Larose. Proses penegasan batas darat dengan Malaysia yang dilaksanakan sejak tahun 1975 yang panjang mencapai lebih dari 2000 km, hampir selesai dilaksanakan ( teknis dilapangan) oleh tim Teknis penegasan Batas Bersama (Joint Border Demarcation Team).
Penegasan batas dengan PNG telah berhasil menyelesaian pilar batas utama (Monumen Meridian/MM). Dan sekarang dalam tahap perapatan pilar batas. Namun dikarenakan berbagai kendala proses perapatan pilar batas ini sejak tahun 2000 berhenti. Sementara itu penegasan batas dengan Timor Larosae sudah dirintis sejah pemerintahan pewakilan PBB (UNTAET) dan sekarang telah sampai pada tahap survey penyelidikan lapangan (Joint Reconnaissance Surveys).
Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Batas laut ini terdiri dari batas laut wilayah/teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi Ekslusif (ZEE). Indonesia yang berbatasan di laut tidak kurang dengan 10 negara, baru sebagian kecil saja batas lautnya yang telah ditegaskan antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India. Hal itupun bersifat parsial, belum secara tuntas menyelesaikan seluruh segmen batas dan jenis batas laut.
  • Kondisi Wilayah Perbatasan.
Wilayah perbatasan (Wiltas) darat antar RI dengan Malaysia, PNG dan Timor Larosae terdiri dari daerah pegunungan, dengan konfigurasi medan yang berat/terjal, bervegetasi hutan yang relatif rapat dengan penduduk sangat jarang. Kondisi demikian dikarenakan pemerintah tidak menjadikan Wiltas sebagai prioritas dalam program pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, Wiltas diposisikan sebagai daerah pinggiran/periferal atau daerah belakang yang sering terabaikan. Dalam pembangunannya, namun sumber daya alamnya, khususnya kayu dieksploitasi dengan serampangan secara besar-besaran. Hal tersebut meninggalkan keprihatinan dan luka hati yang dalam bagi penduduk Wiltas. Ironinya kerusakan hutan yang terjadi sering ditimpakan kepada penduduk Wiltas. Akibatnya, penduduk Wiltas yang semula sangat peduli dengan lingkungan (menyatu dengan alam) menjadi berubah drastis.
Mereka pada akhirnya mulai berkolusi dengan para penjarah hutan tersebut. Mereka juga mulai berfikir dan bersikap materialistis-konsumeris. Sementara itu sikap moral dan pengabdiannya terhadap lingkungan mulai tergerus menipis. Orientasi penduduk Wiltas terutama anak-anak mulai berubah. Setelah TV, Radio, Parabola masuk Wiltas, mereka mulai mengenal budaya “jalan pintas” untuk menjadi kaya. Mereka banyak yang meninggalkan kampungnya, me-ngubah mata pencarian dan berspekulasi di kota terdekat. Itulah proses degradasi lingkungan dan komunitas Wiltas.
Wilayah Perbatasan Laut (Wiltasla). Kondisi Wiltasla lebih memprihatinkan lagi. Penduduk pulau–pulau perbatasan laut seperti penduduk Kep. Sangir dan Talaud (Satal) di Sulawesi Utara, kondisinya secara umum tidak bertambah maju. Bahkan jumlahnyapun malah berkurang. Hal ini disebabkan kesulitan hidup karena lokasi geografi yang terpencil dan faktor keganasan badai laut. Kaum muda di sini juga banyak yang pindah ke daratan Sulawesi Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di P. Miangas (Palmas), Kep Natuna dan pulau-pulau Wiltas lainnya.
Sementara itu, kekayaan laut Wiltasla banyak dirambah nelayan asing. Dengan kapal modern dan peralatan yang canggih, mereka bebas berkeliaran di perairan Wiltasla kita tanpa rasa takut, karena jarang aparat Kamla kita yang berpatroli di sana. Sementara penduduk setempat tidak berdaya mengusir mereka. Bahkan penduduk (sebagian) tidak merasa perlu mengusir para penjarah ikan itu, karena mereka memberi manfaat bagi penduduk setempat. Sikap penduduk Wiltas yang demikian tidak perlu dipersalahkan, karena mereka bodoh tidak tersentuh pemberdayaan SDM, apatah lagi sikap Bela Negara.
  • Upaya yang perlu dilaksanakan.
Untuk meningkatkan pengamanan di Wiltas, maka harus dilakukan perkuatan atau peningkatan kemampuan secara sinergis antara komunitas penduduk perbatasan dengan aparat Hankam di Wiltas.
Persepsi, strategi dan kebijakan pembangunan Wiltas seyogiannya diubah. Selama ini Wiltas dipandang sebagai daerah pinggiran (periphery areas atau border areas). Kita harus punya keberanian mengubah paradigma ini menjadikan Wiltas sebagai daerah depan (frontier areas). Mengapa demikian, karena daerah ini langsung bersentuhan dengan luar negeri. Bagi pihak asing (negara tetangga) kesan pertama mereka atas Indonesia diperoleh dari kondisi lingkungan dan komunitas penduduk perbatasan. Dengan demikian, Wiltas menjadi “Cermin” Indonesia.
  • Beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memberdayakan Wiltas.
Merancang konsep pembedayaan Wiltas secara terpadu baik fisik maupun non fisik (SDM) sesuai potensi sumberdaya yang ada. Dalam konsep Bangwiltas terpadu ini termasuk sektor Hankam Wiltas. Dalam hal ini, posisi penduduk sebagai subyek pembangunan yang aktif. Setiap pembangunan dari masing-masing sektor (Ipoleksosbud Hankam) harus dirancang untuk saling memberi manfaat. Pembangunan dapat diawali dengan prasarana transportasi (jalan, terminal, bandara, pelabuhan dll) yang dikonsep tidak saja untuk kegiatan sosial, ekonomi, budaya, namun harus dapat dimanfaatkan untuk kemudahan operasi
Hankam. Selanjutnya pembangunan ekonomi dengan memprioritaskan sumberdaya permukaan (tanah dan hutan). Tidak ada salahnya kita berguru kepada Malaysia, bagaimana mereka menata jaringan jalan dan perkebunan sawit serta hutan secara teratur dan terkonsep yang sangat berbeda kenampakannya dengan Wiltas di Kalimantan yang semraut.
Prioritaskan penyelesaian penegasan batas negara, termasuk pemetaan dalam skala yang memadai (Wiltasrat 1 ; 50.000 dan Wiltasla 1 ; 250.000). Peta standar ini penting sebagai sarana operasi Hankam dan pembangunan (sebagian sudah dilaksanakan Dittopad dan Dishidros TNI-AL).
Tingkatkan Operasi, pengamanan Wiltas secara periodik, terkoordinasi, dan sekali–sekali kerjasama dengan negara tetangga sambil mensosialisasikan wilayah tanggung jawab masing-masing. Untuk mendukung Pamwiltas ini dapat juga digunakan jasa Satelit dan penerbangan perintis lintas zona perbatasan misalnya : Dari Pontianak ke Kota Kinabalu (Malaysia) dan dari Jaya Pura ke Port Moresby (PNG).
Pemberian subsidi yang memadai untuk aparat dan pegawai negeri serta masyarakat Wiltas. Tanpa subsidi hidup di Wiltas terasa sangat berat karena biaya hidup di sana sangat mahal. Seharusnya subsidi yang diberikan di Wilayah Satal, Natuna, Miangas lebih besar dari pada yang bertugas/yang tinggal di Irian/Papua. Untuk masyarakat, subsidi hendaknya diprioritaskan untuk sektor pendidikan, pangan pokok, kesehatan dan modal usaha kecil.
  • Pelajaran yang dapat diambil.
Ketika pemerintah memutuskan jajak pendapat di Timor-Timor untuk menentukan apakah rakyat Tim-Tim akan memilih tetap bergabung (Integrasi) NKRI atau merdeka, tidak begitu banyak kalangan yang menentang karena di atas kertas pihak pro integrasi diperkirakan akan menang, setidak-tidaknya fifty-fifty. Namun, ternyata setelah jejak pendapat dilaksanakan, pihak pro integrasi kalah dengan presentase secara menyolok (kurang lebih 23,5 %). Demikian pula dengan kasus P. Sipadan dan P. Ligitan, perkiraan menang-kalah 50% – 50%, sehingga minimal P. Sipadan masih bisa menjadi milik Indonesia kenyataannya, Indonesia kalah secara meyakinkan.
Dari dua kasus di atas dapat diambil kesimpulan, pertama patut diduga bahwa dalam kedua kasus di atas ada pihak ketiga yang turut “bermain” untuk merugikan Indonesia. Kedua, sesuatu kebijakan yang diambil pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama melibatkan semua komponen bangsa, bahkan kalau bisa, dihindari.
Ketiga, mencermati pengambilan putusan MI yang didasarkan pada kriteria “Continuous presence, dan effective occupation” hal ini memberikan signal negatif dan preseden buruk yang menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan kedepan.
Ada beberapa pulau kecil terpencil yang secara posisi geografis kedudukannya lebih dekat dengan negara tetangga yang diindikasikan memiliki keinginan memperluas wilayah. Pulau-pulau tersebut antara lain, P. Nipah dan beberapa pulau Karang tak berpenduduk yang berbatasan dengan Singapura. P. Rondo berbatasan dengan Kepulauan Andaman (India), P. Miangas berbatasan dengan Philipina, P. Pasir Putih berbatasan dengan Australia dan ada satu pulau kosong di Kalimantan Barat yang dihuni nelayan Thailand. Negara-negara tetangga memiliki kesempatan terbuka untuk menguasai pulau-pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan pembinaan Continuous Presence dan Effective Occupation. Selama ini penghidupan penduduk pulau-pulau tersebut banyak bergantung kepada negara tetangga terutama segi-ekonomi. Mereka juga lebih banyak menonton televisi dari siaran TV Malaysia atau Singapura. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan komitmen, hak dan kewajiban mereka selaku warga negara RI

LEPASNYA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN DARI NKRI

Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil yang luasnya 23 hektar. Pulau Ligitan terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu, Sipadan merupakan pucuk gunung merapi di bawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700 meter. Sampai 1980-an, dua pulau ini tak berpenghuni.
Bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini punya arti penting, yakni batas tegas antardua Negara. Sengketa pemilik Sipadan dan Ligitan sebenarnya sudah terjad sejak masa colonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam Peraturan tentang Perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) oleh pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski gejolak bias teredam. Sengketa Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada 1969. Syang, tak ada penyesalesaian tuntas sehingga kasus ini kembali mengambang. Pemerintah Indonesia-Malaysia akhirnya sepakat membawa kasus ini ke Mahkamha Internasional (MI) pada tahun 1997. Dalam putusan MI yang jatuh pada 17 Desember 2002, Indonesia dnyatakan kalah. Untuk menghadapi sengketa ini Indonesia sampai menyewa lima penasehat hokum asing dan tiga penelit asing untuk mwmbuktikan kepemilikannya.
Sayang, segala upaya itu mentah di depan 17 hakim MI. Malaysia dimenagkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementar satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilh oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia,kata Menteri Luar Ngeri Hasan Wirajuda berdasarkan pertimbangan efektivitas yaitu pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administrative secara nyata berupa penerbitan peraturan perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operai mercu suar sejak 1960-an. Pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997.
Namun, kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa kedua ini ke MI pada 31 mei 1997. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ini sebenarnya peringatan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan pulau-pulau kecil yang berserakan. Indonesia memilkii 17.506 pulau. Sebagian pulau sudah berpenghuni dan bernama. ‘Tapi masih banyak yang kosong dan tidak punya nama,’. Yang paling mengkhawatirkan tentu saja pulau-pulau yang berbatasan dengan Negara lain.
Sumber : Diolah kembali dari Tempo.co.id dan TEMPO INTERAKTIF Negara Berpagar Belasan Ribu Pulau 08 Maret 2005 , 21:18 WIB 2005.
Selain melalui kegiatan organisasi profesi, tindakan upaya membela Negara dapat dilakukan melalui sekolah (khususnya melalui PKN) misalnya pembinaan sikap dan perilaku nasionalisme,patriotism, dan membela kebenaran dan keyakinan pada Pancasila dan UUD 1945. 

Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. “Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan saya sungguh berharap bahwa keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babakan dalam sejarah bilateral antara Indonesia-Malaysia,” kata Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, dalam jumpa persnya di Deplu, Selasa (17/12). Hari ini, pada sidang yang dimulai pukul 10.00 waktu Den Haag, atau pukul 16.00 WIB, MI telah mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, kata menteri, berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. “Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu),” kata Menlu. Di pihak yang lain, MI juga menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik, sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Dalam kesempatan itu, Wirajuda juga mengatakan, pemerintah Indonesia menyatakan rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil. “Namun, kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa kedua pulau ini ke Mahkamah Internasional pada 31 Mei 1997,” kata dia. Dia menambahkan, sesuai dengan kesekapatan antara Indonesia-Malaysia tidak ada banding setelah keputusan ini. Sebab, keputusan mahkamah ini bersifat final dan mengikat. Dalam urusan ini, pemerintah Indonesia juga percaya seluruh proses peradilan telah berlangsung secara adil dan transparan. Tentang tindak lanjut pasca keputusan MI, menteri menyatakan, langkah pertama yang diambil adalah merumuskan batas-batas negara dengan negara-negara terdekat. “Untuk Sipadan-Ligitan akan ditarik batas laut wilayah sejauh 12 mil dari lingkungan dua pulau tersebut,” katanya. Mengenai kerugian yang diderita, Wirajuda menegaskan tidak ada. “Kita hanya kehilangan dua pulau, Sipadan dan Ligitan,” kata dia. Menteri mengaku sudah melaporkan hasil itu kepada Presiden, tapi karena Presiden Megawati sedang dalam perjalanan, maka belum ada respons.

Disebutkan, biaya yang dikeluarkan hingga proses ini mencapai Rp 16 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk membayar pengacara. Menteri memandang, biaya itu bukan sebuah kerugian karena hal itu merupakan konsekuensi dari sebuah perjuangan. “Ini bisa dibilang sebuah perjuangan demi tercapainya cita-cita,” kata dia.
Saat ditanya, apakah pemerintahan Megawati bisa dijatuhkan karena kasus ini, Wirajuda menyatakan tidak bisa begitu. Sebab, masalah ini sudah ada sejak tahun 1997, dan telah menjadi masalah serius bagi empat Presiden sebelumnya. “Jadi, tidak bisa kita salahkan ujungnya karena merupakan satu rangkaian yang tidak bisa dilepaskan,” kata dia. Mengenai rencana interpelasi anggota DPR jika pemerintah Indonesia kehilangan pulau ini, menteri menjawab hal itu merupakan satu rangkaian dari keputusan serius yang telah lama ada di Indonesia, dan proses peradilan ini sendiri telah berlangsung secara adil dan transparan. "Justru ini merupakan upaya diplomasi dan konsultasi yang dilakukan secara gencar oleh berbagai pihak," kata dia.
Wirajuda sendiri berpendapat, kehilangan dua pulau ini berkaitan dengan keteidakjelasan pembatasan wilayah Nusantara sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperjelas garis pembatas negara. "Ini menjadi kebijakan penting pada pemerintahan Megawati saat ini, yaitu menginventarisir garis batas wilayah kita agar 17.508 pulau kita tidak tercecer," kata dia.

Sengketa Sipadan dan Ligitan

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

A. Kronologi Sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

B. Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.