Kamis, 04 Agustus 2011


Sengketa Internasional Antara Jepang Dan Korea.

Perebutan kepemilikan Pulau Daioyu/Senkaku antara China-Jepang telah berlangsung sejak tahun 1969. Sengketa ini diawali ketika ECAFE menyatakan bahwa diperairan sekitar Pulau Daioyu/Senkaku terkandung hidrokarbon dalam jumlah besar. Kemudian pada tahun 1970, Jepang dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian pengembalian Okinawa, termasuk pulau Daioyu/Senkaku kepada Jepang. Hal inilah yang kemudian diprotes China, karena China merasa bahwa pulau tersebut adalah miliknya.Sengketa ini semakin berkembang pada tahun 1978, ketika Jepang membangun mercusuar di Pulau Daioyu untuk melegitimasi pulau tersebut.
Ketegangan ini berlanjut ketika Jepang mengusir kapal Taiwan dari perairan Daioyu. Meskipun protes yang terus menerus dari China maupun Taiwan, namun tahun 1990an Jepang kembali memperbaiki mercusuar yang telah dibangun oleh kelompok kanan Jepang di Daiyou. Secara resmi

Penyelesaian sengketa
.
China memprotes tindakan Jepang atas Pulau tersebut.
Sampai saat ini permasalahan ini belum dapat diselesaikan. Kedua negara telah mengadakan pertemuan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa. Namun dari beberapa kali pertemuan yang telah dilakukan belum ada penyelesaian, karena kedua negara bersikeras bahwa pulau tersebut merupakan bagian kedaulatan dari negara mereka, akibat overlapping antara ZEE Jepang dan landas kontinen China. Hal inilah yang belum terjawab oleh Hukum laut 1982. Meskipun saat ini banyak yang menggunakan pendekatan median/equidistance line untuk pembagian wilayah yang saling tumpang tindih, namun belum dapat menyelesaikan perebutan antara kedua negara, karena adanya perbedaan interpretasi terhadap definisi equidistance line.

Alternatif  lain juga telah ditawarkan untuk penyelesaian konflik, yaitu melalui pengelolaan bersama (JDA, Joint Development Agreement). Sebenarnya dengan pengelolaan bersama tidak hanya akan menyelesaikan sengketa perbatasan laut kedua negara, tetapi memiliki unsur politis. Hal ini akan memperbaiki hubungan China-Jepang, karena menyangkut kepentingan kedua negara, sehingga kedua negara harus selalu menjaga hubungan baik agar kesepakatan dapat berjalan dengan baik. Namun sayangnya tawaran ini ditolak China, padahal sebenarnya kesepakatan ini dapat digunakan untuk membangun masa depan yang cerah bersama Jepang.Melihat sulitnya dicapai kesepakatan China-Jepang, alternatif penyelesaian akhir yang harus ditempuh adalah melalui Mahkamah Internasional. Namun penyelesaian tersebut cukup beresiko, karena hasilnya akan take all or nothing.

Pengadilan PBB Desak Thailand-Kamboja Tarik Pasukan

Senin, 18 Juli 2011 18:02 wib

Militer Thailand (Foto: AFP)
Militer Thailand

DEN HAAG - Pengadilan Internasional PBB (ICJ) mengambil keputusan mengenai konflik perbatasan yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. Sebelumnya, Kamboja menuntut penjelasan mengenai putusan ICJ 1969 silam mengenai konlfik perbatasan itu.

Kamboja memang sebelumnya meminta interpretasi atau penjelasan dari ICJ mengenai wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear. Sebelumnya ICJ sudah mengeluarkan putusan mengenai wilayah tersebut pada tahun 1969 dan kini terus menjadi perdebatan antara Thailand dan Kamboja.

Selain meminta penjelasan, Kamboja juga mendesak hakim menyetujui permintaan Kamboja agar Thailand menarik pasukannya dari wilayah perbatasan yang disengketakan. Ini juga termasuk melarang aktivitas militer Thailand disana.

Meskipun Thailand tidak mengklaim kepemilikan Kamboja atas Kuil Preah Vihear, Negeri Gajah Putih itu mengklaim memiliki tanah di sekitar kuil yang berusia 900 tahun tersebut. Tanah ini juga diklaim oleh Kamboja. Demikian diberitakan Al Jazeera, Senin (18/7/2011).

ICJ sendiri pada hari ini sudah memutuskan agar kedua negara untuk menarik pasukan mereka dari perbatasan yang disengketakan. ICJ juga meminta kedua belah pihak untuk menahan diri mengerahkan pasukan di wilayah tersebut.

Pemerintah Thailand sendiri sudah menegaskan akan mematuhi segala keputusan yang diambil oleh ICJ. Kedua negara saling berdebat di depan pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Hisashi Owada. Pihak Kamboja diwakili oleh Menteri Luar Negeri Hor Namhong dan Thailand diwakili oleh Duta Besarnya untuk Belanda Virachai Plasai.

Saat itu Menlu Hor Namhong mendesak ICJ untuk memerintahkan Thailand menarik pasukannya. Sementara Thailand meresponsnya dengan meminta ICJ menghapus kasus ini dari daftar pengadilan.

Pada Februari lalu PBB meminta gencatan senjata permanen setelah 10 orang terbunuh dari baku tembak dekat kuil. Namun imbauan gencatan senjata itu tidak digubris oleh kedua negara dan terus terlibat pertempuran.

Pada April lalu, 18 orang dilaporkan tewas ditembak dan memaksa 85 ribu warga sipil dievakuasi dari sekitar wilayah yang dipersengketakan. 

Tanah Terlantar Picu Konflik Masyarakat dengan Perusahaan
Wednesday, 06 April 2011 11:34
Pemkab Labusel terus men­dapat desakan dari mas­yarakat ten­tang adanya se­jumlah peru­sahaan yang ber­o­perasi mendapat izin penguasaan lahan na­mun tidak dimanfaat sesuai sifat dan peruntukannya.

Hal inilah yang memicu mas­­yarakat untuk mendesak agar Pemkab Labusel segera me­la­kukan peninjauan ulang atau penertiban kepada peru­sa­haan yang mendapatkan i­zin kelo­la/HGU, namun diterlantarkan.

Salah satunya PT Sinar Be­lantara Indah. Perusahaan yang bergerak di bidang pe­man­faatan hutan tanaman di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) di Desa Bagan Toreh, Keca­matan Tor­gam­ba, ini me­miliki lahan seluas 6.200 Ha, dengan klasifikasi penilaian kinerja sedang.

Dengan areal yang begitu luas, PT SBI tersebut tidak me­manfaatkannya secara op­timal. Sesuai informasi yang dihimpun Jurnal Medan dari pen­duduk di sekitar perusahaan, di antara­nya Dollah (37) war­ga Dusun Suka Mulya. Dia mengatakan, perusahaan ter­sebut memiliki lahan terlantar yang cukup luas. “Dan lahan yang dikerjai hanya seperempatnya saja,” jelasnya.

Sesuai Peraturan Peme­rintah No. 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, ditambah lagi Peraturan Kepala BPN RI No. 4 tahun 2010, tentang ta­ta cara penertiban tanah terlantar. Makanya Pemerintahan Pro­­­vinsi ­(Pemprov) maupun Pe­merin­tahan Daerah (Pemda) harus segera melaksanakan pe­ra­turan tersebut dengan menganalisa jumlah perusahaan yang dianggap menelantarkan tanah yang dikelolanya dengan melakukan penertiban.

“Harus dievaluasi dan di­tempuh tindakan sesegera mung­­kin,” ujar Hasraruddin Nur Daulay anggota DPRD La­busel dari Fraksi Golkar ke­tika dimintai keterangan di ruang kerjanya, Senin (4/4).

Di tempat terpisah, Ab­dullah Situmorang Ketua IC­MI Labusel mengatakan, akibat banyak lahan yang terlantar tersebut, masyarakat memanfaatkannya dengan melakukan penggarapan dan menana­minya dengan karet dan sawit.

Namun, perusahaan yang dinilai tak mampu itu akhi­r­nya melakukan pengusiran dengan menempatkan beberapa aparat dari Petugas Polisi Kehutanan atau SPORC (Satu­an­ Polisi Reak­si Cepat). “Se­hing­ga hal yang tak dinginkan pun terjadi,” ujarnya.  

Salah satu contoh, lanjutnya, kasus penembakan mas­ya­rakat oleh petugas Polhut pada bulan November 2010 yang lalu di areal PT SBI ter­sebu­t. Di sini peran Pemkab La­busel harus lebih tegas.

“Jadi Bupati Labusel jangan hanya tegas kepada para PNS di jajarannya, akan tetapi ke­pada perusahaan yang selalu mengalami konflik dengan masya­rakat juga harus le­bih tegas,” tandasnya.

Amin Wahyudi | Labusel | Jurnal Medan

Selasa, 10 Mei 2011 15:04
http://riauoke.com/images/aaash.pngPASIRPENGARAIAN  (riauoke.com) Konflik antara masyarakat Dusun Tanjung  Beringin, Desa Batang Kumu, Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu (Rohul), dengan PT.Mazuma Agro Indonesia (MAI), terkait penyerobotan lahan milik masyarakat setempat sejak tahun 1998 lampau, masih belum selesai dan berkepanjangan. aparat, diduga sebagai alat perusahaan untuk menakuti warga.




Ungkap Kuasa Hukum masyarakat Desa Batang Kumu, M Nasir Sihotang SH, Senin (9/5) di Pasirpengaraian, akibat dari konflik berkepanjangan ini, pihak perusahaan sudah dua kali melakukan aksi pembakaran rumah masyarakat, yaitu pada tahun 1998 dan 2010 lalu, dipimpin oleh BKO aparat dari Kompi C Sipirok, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara (Sumut).


Merasa dirugikan, masyarakat mengadukan perihal pembakaran ke Polres Rohul yang lama. Tapi laporan masyarakat tidak ditanggapi serius, dinyatakan bukan rumah yang dibakar, melainkan gubuk warga. Sehingga gugatan dilanjutkan ke ranah hukum.


Dalam prosesnya, di Pengadilan Negeri (PN) Pasirpengaraian, masyarakat  memenangkan gugatannya terhadap tergugat PT.MAI. Perjuangan masyarakat kembali terjerembab, tatkala banding dari tergugat, diterima permohonannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) Riau.


Dalam persidangan Majelis Hakim PT.Riau membatalkan hasil putusan PN Pasirpengaraian, dengan alasan penggugat dalam hal ini masyarakat Batang Kumu salah alamat mengajukan gugatannya terhadap PT.MAI, sebab direktur perusahaan sudah berganti, dari H Maslin B, digantiakan anaknya Ivan Iskandar B.


“Alasan hakim PT Riau tersebut tak beralasan, sebab pemiliknya tetap sama, dan tak ada hubungannnya walau mereka sudah berganti direktur. Lebih aneh lagi, seharusnya gugatan kami seharusnya ke Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel) Sumut, sebelum dimekarkan dengan Kabupaten Padang Lawas, yang saat ini sudah meninggal. Lebih parah lagi, hakim PT Riau, menolak Kepala Desa Batang Kumu sebagai penggugat,” kesal M Nasir, Senin (9/5).


Sebab PT Riau terima permohonan dari tergugat PT.MAI, dan membatalkan putusan PN Pasirpengaraian, selanjutkan masyarakat ajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) Jakarta, pada 2 Mei 2011 lalu. Dan saat ini masyarakat Batang Kumu sedang menunggu memori kasasi dari PT.MAI.


“Kami kira PT.Riau lebih bijak memutuskan perkara, nyatanya mereka juga tidak tahu tata batas antara Provinsi Riau dan Sumut, dan kami dinyatakan salah alamat,” katanya.
Aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah BKO aparat dari Kompi C Sipirok Sumut ini, sudah berlangsung sejak tahun 1998. Awal bergolaknya konflik ini, disinyalir pihak perusahaan menurunkan karyawannya, dan orang sewaan.


Pada 24 April 2010 lalu, konflik kembali pecah, puluhan rumah masyarakat Batang Kumu dibakar OTK  sejumlah orang diamankan masyarakat setempat ke Polsek
Tambusai, dengan tudingan membakar bibit kelapa sawit masyarakat, namun pihak Polsek Tambusai melepasnya lagi.


Jelas M Nasir, sebelumnya juga Pemkab Rohul, melalui Bupati Drs H   Achmad M.Si, sudah meminta Polda Riau agar turun langsung untuk lakukan rekontruksi, agar mengetahui tata batas antara Kabupaten Rohul dan Kabupaten Padang Lawas, namun belum dilakukan sampai sekarang.



“Kami berharap MA Jakarta lebih bijak dari PT Riau, dan mengetahui kordinat tata batas Riau-Sumut, jika perlu turun langsung ke lokasi agar mengetahui dengan jelas,” harap M Nasir.


Ungkap M Nasir lagi, dalam persidangan terbukti, PT.MAI belum miliki izin Hak Guna Usaha (HGU), izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan RI. Padahal PT.MAI sendiri sudah berdiri sejak tahun 1998 lalu.


“Kalau perturannya lemah seperti ini, tentu semua orang gampang mendirikan sebuah perusahaan atau pabrik. Sebab, tidak ada izin tidak jadi masalah,” tutupnya. [] Pandria

Foto : Nasir Sihotang SH, Kuasa Hukum Masyarakat Batang Kumu Tambusai.